Selasa, 14 Juni 2011

Theosentrisme

Theosentrisme memiliki makna yang luas dan dalam. Theosentrisme merupakan filsafat ketuhanan yang bertitik tolak semata-mata kepada kejadian alam. Dalam bukunya yang berjudul “Philosophie” Karl Jaspers (1883) memberikan suatu pembahasan mengenai berbagai macam cara yang dapat menyebabkan manusia mempunyai keinsyafan tentang adanya Tuhan berdasarkan atas hal-hal yang dapat diungkap dengan panca indera. Partama-tama terdapat suatu cara yang formal, yang menunjukkan bahwa segenap pengertian hakiki yag dimiliki oleh manusia senantiasa menunjuk kepada adanya sesuatu yang tidak terbatas. Di samping itu ada cara yang eksistensial, yang menyebabkan manusia menginsyafi bahwa Tuhan terdapat jauh di lubuk hatinya. Juga terdapat cara simbolik, yang menyebabkan orang menginsyafi tentang adanya Tuhan berdasarkan atas hal-hal yang terdapat di dalam mitos-mitos serta tulisan-tulisan keagamaan. Ketiga macam cara tersebut, masing-masing dapat lebih berpengaruh dan diikuti oleh manusia yang satu dibandingkan dengan manusia yang lainnya.
Dalam masalah Teosentrisme, Thomas Aquinas mengajukan lima bukti adanya Tuhan, yaitu:
1. Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Tuhan. Menurut Thomas Aquinas apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan olleh sesuatu yang lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama ini adalah Tuhan.
2. Di dalam dunia yang damai terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati, yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena seandainya ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin. Sebab yang berdayaguna, yang menghasikan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu maka harus ada sebab berdayaguna yang pertama, inilah Tuhan.
3. Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tida ada”. Oleh karena semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tidak mungkin, bahwa semuanya itu senaniasa ada. Sebab apa yang munkin “tidak ada” pada suatu waktu memang “tidak ada”, maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jika pengandaian ini benar, maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Pada hal apa yang tidak ada, hanyalah dapat dimulai berada, jika diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jika segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang “adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah keharusan, “adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karenaitu harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain, inilah Tuhan.
4. Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau leb9h baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang benar, yang benar dan yang lebih benar, dan lain sebagainya. Dari ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Tuhan.
5. Kita menyaksikan bahwa segala sesuatu yang tidak berakal, seperti umpamanya;tubuh alamiah, berbuat menuju kepada akhirnya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ tampak jelas, bahwa tidak hanya kebetulan saja semuanya itu mencapai akhirnya, tetapi memang dibuat begitu. Maka apa yang tidak berakal tidak mungkin bergerak menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh sesuatu tokoh yang berakal, berpengetahuan, inilah Tuhan.
Pemikiran August Comte (1798-1857) menempatkan tahap theosentrisme berada pada tahap pertama dalam teori perkembangan pemikiran manusia. Dalam tahap teosentrisme ini ditegaskan bahwa orang mengarahkan rohnya kepada hakikat “batiniah” segala sesuatu, kepada “sebab-pertama” dan “tujuan terakhir” segala sesuatu. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap, yaitu:
1. Tahap yang paling bersahaja atau primitive, ketika orang mengganggap, bahwa segala benda berjiawa (animisme).
2. Tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatarbelakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki deaa-dewanya sendiri (politiisme).
3. Tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.

Mengenai pemikiran agama pada abad ke-20 yang cukup menonjol adalah pemikiran Henri Bergson. Menurut Bergson, agama itu ada dua macam, yaitu:
1. Agama yang statis, yang ttimbul karena hasil karya perkembangan. Di dalam perkembangan ini alam telah memberikan kepada manusia kecakapan untuk menciptakan dongeng-dongeng yang dapat mengikat manusia yangseorang dengan yang lain dan dapat mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya manusia tahu, bahwa ia harus mati. Juga karena akalnya ia tahu, bahwa ada rintangan-rintangan yang tidak terduga, yang merintangi usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul kesadaran yang pahit ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah timbul agama sebagai alat bertahan terhadap segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa
2. Agama yang dinamis, yang diberikan oleh intuisi. Dengan perantaraan agama ini manusia dapat berhubungan dengan Asas yang lebih tinggi, yang lebih kuasa dari pada dirinya sendiri, yang menyelami dia tanpa menghapuskan kepribadiannya. Karena agama inilah manusia diikatkan kepada hidup dan masyarakatatas dasar yang lebih tinggi. Ia tahu,bahwa ia dengan kuat dihubungkan dengan suatu asas yang lebih tinggi. Bentuk agama yang paling tinggi adalah mistik.


Surajiyo, (2000), Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, hal.131-132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar